"Hadiah terindah dalam hidup saya adalah satu-satunya anak saya yang masih hidup bertobat," kata seorang ibu yang belasan tahun hidup menjanda dan telah kehilangan dua anaknya. Pernyataan sederhana yang diucapkannya dengan mata berkaca-kaca itu sungguh keluar dari hati yang paling dalam. Di usia yang sudah hampir 70 tahun, ibu ini menemukan arti keindahan hidup.
Tanpa jemu-jemunya, selama belasan tahun, ia terus mengasihi dan mendoakan agar putranya (sebut saja Yanto) kembali ke jalan yang benar. "Setiap hari saya mendoakannya. Sudah tidak terhitung berapa banyak air mata yang menetes. Namun saya tetap percaya, suatu hari nanti, ia akan kembali ke jalan Tuhan," kata sang ibu.
Doa dari hati yang tulus dan penuh kasih itu pun akhirnya terjawab. Kini Yanto dikenal sebagai aktivis di gerejanya dan tampak bersemangat dalam melayani Tuhan. "Saya ada rencana mau masuk sekolah doa," kata Yanto yang tahun ini menginjak usia 33 tahun. Beberapa waktu kemudian Yanto memang menceburkan diri ke dalam sebuah sekolah pelayanan. Di sana ia digodok agar lebih efektif dalam melayani Tuhan dan membaktikan hidupnya bagi sesama. Bukan main dan bukan main-main!
Sejujurnya, saya sendiri sangat surprise dengan kisah pertobatan Yanto. Tahun 2004 seusai saya melayani di sebuah gereja di kota Purwokerto, sang ibu ini mengajak saya makan malam di rumahnya. Itulah pertama kali saya melihat Yanto. Ia tampak cuek dalam terlihat asyik bermain-main dengan binatang peliharaannya, mulai dari cat fish, binturung hingga kura-kura aligator. Ia sama sekali tidak tertarik berbicara mengenai hal-hal yang bersifat rohani.
Siapa yang menyangka jika setahun kemudian keadaannya berubah 180 derajat. Yanto menjadi pemuda yang rajin berdoa, membaca kitab suci dan terlibat aktif dalam berbagai pelayanan di gerejanya dan juga gereja teman-temannya. "Saya masih terus diproses oleh Tuhan," kata Yanto.
Sebelum bertobat, Yanto dikenal sebagai pemuda yang susah diatur. Keluar malam bukanlah hal aneh baginya, apalagi sekedar minum minuman keras dan merokok berbungkus-bungkus setiap hari. Akibatnya, ia pernah terkena penyakit paru-paru. Sayangnya, penyakit itu tidak juga membuat ia menghentikan kebiasaan buruknya.
Sebelum bertobat, jika hari Minggu tiba, Yanto memasang strategi. Demi menyenangkan hati ibunya, ia berangkat dari rumah seolah-olah hendak ke gereja namun ia tidak akan sungguh masuk ke dalam gedung gereja. Biasanya ia akan nongkrong-nongkrong di pinggir jalan dekat gereja sambil merokok bak kereta api. Begitu kebaktian usai, Yanto pun ikut melangkahkan kaki pulang ke rumah.
Titik terang dalam hidup Yanto mulai terjadi suatu hari saat ia diajak saudaranya untuk ikut Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di Yogyakarta. "Waktu itu saya agak ogah-ogahan untuk berangkat," kenangnya. Pada saat KKR berlangsung, seorang hamba Tuhan menunjuk Yanto dan berkata kalau Tuhan sangat mengasihinya. Saat itu Yanto masih saja cuek dan merasa gengsi alias belum mau untuk bertobat.
Suatu hari di tahun 2005, ada seorang hamba Tuhan lainnya yang berkunjung ke rumahnya. Pada saat itu Yanto didoakan secara khusus. "Saya merasakan ada sesuatu yang lain. Tiba-tiba saya menjadi sangat terharu dan ingin menangis tapi saya tahan. Ternyata tidak bisa juga dan akhirnya saya menangis sejadi-jadinya dan bisa merasakan kalau Tuhan sungguh mengasihi saya," ujar Yanto. Sejak hari itu, sukacita sejati semakin dirasakan Yanto dan terlebih ibunya. Ia mulai membuang satu per satu kebiasaan buruknya.
Jika teringat kisah pertobatan Yanto ini saya teringat nasihat dari Mother Teresa, "We think sometimes that poverty is only being hungry, naked and homeless. The poverty of being unwanted, unloved and uncared for is the greatest poverty. We must start in our own homes to remedy this kind of poverty." (Kita sering kali berpikir jika kemiskinan adalah lapar, telanjang atau tidak punya rumah. Kemiskinan yang sesungguhnya adalah tidak diinginkan, tidak dikasihi dan tidak diperhatikan. Kita harus memulainya dari rumah kita masing-masing untuk memperbaikinya.)
Kasih yang tulus dari sang ibu akhirnya membuahkan hasil. Benar kata orang bijak, kalau kasih sejati berasal dari rumah. Perasaan dikasihi oleh orang-orang terdekat di rumah membuat seseorang mampu membagikan kasih kepada sesamanya. Sebaliknya juga benar, kalau kebencian seringkali berasal dari rumah. Kebencian anak kepada orang tuanya (atau saudara yang lain yang tinggal serumah) seringkali membuat anak itu juga membenci orang lain di luar rumahnya.
Lihat bagaimana ibu Yanto tetap optimis melihat sang buah hatinya berproses. Persis ibu dari seorang pemuda lainnya, sebut saja Yudi. Terlahir dengan kondisi bibir sumbing membuat Yudi besar dengan perasaaan minder yang luar biasa. Suatu hari saat Yudi duduk di bangku sekolah dasar, sang ibu memanggil Yudi dan berbicara dari hati ke hati dengannya. "Nak, semua orang pasti punya kelebihan dan kekurangan," katanya. Sejak saat itu Yudi mulai belajar untuk menerima kekurangan dirinya dan secara perlahan rasa percaya dirinya mulai tumbuh. Kini, ia menjadi salah satu pemuda paling percaya diri yang saya kenal.
Deborah Waitley benar ketika berkata, "To love another is to look at the good." Ya, mengasihi seseorang berarti melihat kebaikan dalam diri orang tersebut. Sudahkah kita menyadari hal ini? Ketika kasih diwujudkan dalam kata dan perbuatan maka keajaiban-keajaiban hidup mulai terjadi. Amin. ***
Sumber : Paulus Winarto